Ketika memperingati Hari Santri Nasional 22 Oktober 2024, atau 9 tahun sejak Presiden Joko Widodo menetapkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 pada tanggal 15 Oktober 2015, maka sesungguhnya bukan bermasalahan santri semata menjadi fokus dari peringatan peristiwa sejarah yang sangat menentukan kelanjutan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Mengapa? Hari Santri Nasional tidak lebih dan tidak kurang, hanya sebatas penguatan terhadap kebenaran sejarah dan perjuangan arek arek Suroboyo pada saat mempertahankan kemerdekaan RI dari gempuran dan keinginan pasukan Sekutu merebut kembali sejengkal tanah Ibu Pertiwi, setelah sang proklamator Soekarno-Hatta mengumandangkan kemerdekaan Negara Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, setelah dijajah berabad-abad.
Pemberian lebel santri sesungguhnya karena mayoritas pejuang arek arek Suroboyo ketika itu, sebagian besar dari kalangan santri karena terpanggil “Resolusi Jihad Hadrotussyaikh KH Hasyim Asy’ari”. Pendiri Nahdatul Ulama dan Rois Am pertama, organisasi masyarakat Islam terbesar di tanah air hingga saat ini.
KH Hasyim Asy’ari atau M Hasyim Asy’ari merupakan ulama kelahiran Jombang, 24 Dzulqaidah 1287 H. Hasyim merupakan putra ketiga dari 11 bersaudara, dari pasangan KH Asy’ari dan Nyai Halimah. Dari garis keturunan sang ayah, Hasyim merupakan keturunan Rasulullah.
Julukan Hadratussyaikh karena keilmuan setingkat mahaguru dan telah hafal Kutub al-Sittah (6 kitab hadits), serta memiliki gelar Syaikhu al-Masyayikh yang berarti Gurunya Para Guru.
Naskah Resolusi Jihad 22 Oktober 1945, sebagaimana mengutip dari laman resmi Nahdlatul Ulama, yang telah disempurnakan ejaan dan struktur penataan kata dan kalimat, sebagai berikut;
Bismillahirrahmanirrahim
Resolusi
Rapat besar wakil-wakil daerah (Konsul-konsul) Perhimpunan Nahdlatul Ulama seluruh Jawa-Madura pada tanggal 21-22 Oktober 1945 di Surabaya.
Mendengar:
Bahwa di tiap-tiap daerah di seluruh Jawa-Madura ternyata betapa besarnya hasrat umat Islam dan Alim ulama di tempatnya masing-masing untuk mempertahankan dan menegakkan AGAMA, KEDAULATAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA MERDEKA.
Menimbang:
- Bahwa untuk mempertahankan dan menegakkan Negara Republik Indonesia menurut hukum AGAMA ISLAM, termasuk sebagai suatu kewajiban bagi tiap-tiap orang Islam
- Bahwa di Indonesia ini warga Negaranya adalah sebagian besar terdiri dari Umat Islam.
- Bahwa oleh pihak Belanda (NICA) dan Jepang yang datang dan berada di sini telah banyak sekali dijalankan banyak kejahatan dan kekejaman yang mengganggu ketenteraman umum.
- Bahwa semua yang dilakukan oleh semua mereka itu dengan maksud melanggar Kedaulatan Republik Indonesia dan Agama, dan ingin kembali menjajah di sini, maka di beberapa tempat telah terjadi pertempuran yang mengorbankan beberapa banyak jiwa manusia.
- Bahwa pertempuran-pertempuran itu sebagian besar telah dilakukan umat Islam yang merasa wajib menurut hukum agamanya untuk mempertahankan Kemerdekaan Negara dan Agamanya.
- Bahwa di dalam menghadapi sekalian kejadian-kejadian itu belum mendapat perintah dan tuntutan yang nyata dari Pemerintah Republik Indonesia yang sesuai dengan kejadian-kejadian tersebut.
Memohon dengan sangat kepada Pemerintah Republik Indonesia supaya menentukan suatu sikap dan tindakan yang nyata serta sepadan terhadap usaha-usaha yang akan membahayakan kemerdekaan Agama dan Negara Indonesia, terutama terhadap pihak Belanda dan kaki tangan.
Supaya memerintahkan melanjutkan perjuangan bersifat “sabilillah” untuk tegaknya Negara Republik Indonesia Merdeka dan Agama Islam.
Surabaya, 22 Oktober 1945
NAHDLATUL ULAMA
Sebagaimana diketahui pada 14 September 1945, Rois Akbar PBNU KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa jihad: “Bahwa membela Tanah Air melawan penjajah hukumnya fardlu ain (Wajib bagi setiap warga negara). Dan umat Islam yang meninggal dalam perjuangan tersebut adalah mati syahid”.
Fardlu Ain (wajib) bagi muslim yang berada pada radius 94 km dari titik pertempuran di Surabaya, dan di luar itu fardlu kifayah (tidak wajib, jika sudah ada yang melaksanakan), menjadi magnit dari seluruh penjuru Jawa Timur berbondong bondong ke Surabaya untuk menjaga sejengkal tanah Ibu Pertiwi. Kini semua sudah berlalu tinggal peringatan Hari Santri Nasional dan Hari Pahlawan, dari peristiwa di Kota Pahlawan.
Dakwah Sepanjang Masa
Sekedar kontemplasi atau sebuah perenungan ketika memperingati Hari Santri Nasional, maka berjuang dan berdakwah sepanjang masa di Negara Kesatuan Republik Indonesia, adalah pesan sesungguhnya Hari Santri. Sehingga generasi apa saja ketika menjumpai peringatan Hari Santri, terpanggil sebagai anak bangsa yang harus mempertahankan sejengkal tanah Ibu Pertiwi seperti perjuangan arek arek Suroboyo tempo dulu.
Sebagaimana diketahui,
Kontemplatif (bahasa Latin: contemplore) berarti merenung dan memandang. Kontemplatif atau kontemplasi merupakan cara hidup yang mengutamakan kehidupan penuh ketenangan, bermati raga, dan bertapa, sehingga dapat berdoa dan bersemadi dengan lebih mudah.
Menurut KBBI arti “kontemplasi” adalah renungan, dengan kebulatan pikiran atau perhatian penuh. Cara melakukan kontemplasi bisa dengan merenung, meditasi, tafakur, dan introspeksi diri.
Tetapi karena jaman sudah bergeser menuju (hampir totalitas) kehidupan mengarah ke era digital, maka tidak berlebihan dalam berjuang dan berdakwah sepanjang masa dengan sentuhan kecanggihan digital, termasuk menjadi fokus dakwah menjaga sejengkal tanah Ibu Pertiwi.
Karena atas nama santri, maka dalam berbagai perjuangan dan dakwah selalu menjaga pesan moral tertinggi, bahwa Nabi Muhammad Shollallohu Alaihi Wassalam diutus sebagai Rasul terakhir untuk menyempurnakan akhlaq manusia menjadi lebih mulia. Dan santri wajib berjuang dan berdakwah dengan mengedepankan akhlaq mulia, dengan budi pekerti luhur.
Adalah generasi milenial dan generasi Z sebagai penerus perjuangan hingga menjumpai berbagai peristiwa tanda tanda jaman akhir atau akhir jaman. Maka dengan berjuang dan berdakwah rasanya hidup dan kehidupan mempunyai makna. Itulah sesungguhnya pesan tertinggi Hari Santri Nasional. Yaitu, siapa saja anak bangsa yang hati nuraninya masih terpanggil menjaga sejengkal tanah Ibu Pertiwi dengan Akhlaqul Karimah, dengan budi pekerti luhur juga mulia, maka itulah sesungguhnya pahlawan pahlawan negara dan bangsa Indonesia sepanjang masa.
Perang Digital
Peperangan secara nyata maupun sembunyi sembunyi, sudah tidak dapat dipungkiri semua menggunakan kecanggihan teknologi digital. Bahkan peperangan terbesar abad ini antara Rusia dan Ukrania, juga beberapa kedzaliman kekuasaan seperti Israel menggempur Gaza, teknologi digital sudah terdepan menjadi alat peperangan. Begitu juga ketika Iran memborbardir Israel melalui rudal digital.
Hari Santri Nasional juga mengingatkan kepada generasi milenial dan generasi Z serta generasi kapan pun, tidak berpangku tangan menyaksikan perubahan peradaban dan perubahan perjuangan juga dalam menjalankan cara-cara berdakwah.
Seperti diketahui
Generasi Z, sering disingkat menjadi Gen ygZ dan dalam bahasa sehari-hari dikenal sebagai Zoomers, ia adalah orang-orang yang lahir pada tahun 1997 hingga 2012. Sebagian besar Generasi Z adalah anak-anak dari Generasi X atau Milenial yang lebih tua. Generasi Z lahir pada awal Abad ke-21, dan menjadi generasi pertama yang tumbuh dengan akses Internet dan teknologi digital sejak usia muda.
Milenial atau generasi milenial pada umumnya adalah anak-anak dari generasi Baby Boomers dan Generasi X. Milenial kadang-kadang disebut sebagai “Echo Boomers” karena adanya ‘booming’ (peningkatan besar), tingkat kelahiran pada tahun 1980-an dan 1990-an. Untungnya di abad ke 20 tren menuju keluarga yang lebih kecil di negara-negara maju terus berkembang, sehingga dampak relatif dari “baby boom echo” umumnya tidak sebesar dari masa ledakan populasi pasca Perang Dunia II.
Sekali lagi, sebagai sebuah sentuhan qolbu, sentuhan hati nurani bahwa Hari Santri Nasional adalah milik bangsa Indonesia, sebagai penguatan perjuangan hari ini dan masa yang akan datang, untuk tidak berhenti berjuang dan berdakwah sekaligus menjaga sejengkal tanah Ibu Pertiwi.
Karena anak-anak bangsa Negara Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauke itulah, sesungguhnya pemilik sah sejengkal tanah Ibu Pertiwi itu.
@Kotapraja.com